Tangerang, (JD) – Soal rencana pembangunan pemakaman yang berlokasi di Kampung Guradog, Desa Tegalsari, Tigaraksa Tangerang diduga warga setempat tidak menyetujui karena salah konteks dan informasi untuk rencana pembangunan di wilayah tersebut.
Salah satu warga setempat menjelaskan rencana awal lahan yang dibebaskan akan dijadikan perumahan elit atau mewah tapi diluar informasi yang terjadi malah dijadikan lahan pemakaman.
“Sebetulnya warga juga banyak yang tidak setuju kalau lahan yang mereka jual ternyata untuk lahan pemakaman,” ucapnya dikutip pada Jumat (17/10/25).
Kata dia, lahan yang akan dibebaskan untuk pemakaman diperkirakan 32 hektar, namun yang baru di beli 15 hektar.
“Lahan pembebaskan itu semua dibeli oleh berinisial U, Ketua MUI Kabupaten Tangerang, yang bekerjasama dengan pengembang dari PT. Insira Cipta Mutiara,” ungkapnya.
Waktu itu bahwa rapat dan musyawarah pemakaman yang dibangun ini untuk orang muslim, dan lahan terbagi dua wilayah termasuk Kampung Guradog dan Kampung Pabuaran itu pun ada 5 RT, yaitu dari RT 02, 08, 03, 04 serta 09.
Ia menambahkan, bahwa sempat mengadakan rapat, dan mengisi daftar hadir serta tanda tangan yang hadir sesuai dengan jabatan.
“Rapat tersebut saya tertipu. Mungkin kalau rapat untuk lahan pemakaman, saya dan yang lain gak akan mau tanda tangan,” tukasnya.
Pada saat rapat tersebut, dia menjelaskan mendapatkan bingkisan dan uang bensin tapi nilainya bervariatif, untuk tokoh masyarakat beda lagi isinya.
“Saya pribadi dapat catering, sarung dan uang bensin 200 ribu, kalau seperti tokoh masyarakat amplop nya beda agak tebal, intinya rapat tersebut membuat persetujuan untuk rencana pembangunan pemakaman,” tegasnya.
Warga menambahkan bahwa rapat tersebut diikuti ratusan orang diantaranya, tokoh agama, pemuda, masyarakat, RT, dan RW.
“Dan rapat bukan adakan di Desa tapi diluar Desa yaitu di wilayah Pesona Jengjing, dan dilakukan malam hari,” katanya.
Sementara di tempat lain, pria berinisial U menyebutkan, warga disini karena tidak jauh dari proyek tersebut mendapat kompensasi (uang bising,red) Rp.50 ribu per rumah.
“Dari uang 50 ribu tersebut gak dapat semua, gak rata dalam satu RT,” pungkasnya.
Penolakan itu disampaikan juga oleh salah satu tokoh masyarakat, Hendra Jaya yang juga aktif memantau perkembangan proyek tersebut. Ia menilai ada kejanggalan dalam proses sosialisasi, di mana sebagian warga mengaku tidak mengetahui secara jelas tujuan dan mekanisme pembebasan lahan.
“Awalnya saya tanya ke warga, ternyata sosialisasinya tidak utuh,” ujar Hendra kepada wartawan, Selasa (21/10/2025).
Bahkan ia juga mempertanyakan kepada pemerintahan Desa, sudah sejauh mana hasil dari kesepakatan pertemuan klarifikasi terhadap warga masyarakatnya yang kontra.
Ia juga menyinggung bahwa wilayah yang akan dijadikan lokasi proyek berada di zona kuning, yang sejatinya diperuntukkan bagi kawasan perumahan, bukan pemakaman.
“Kalau zonanya untuk perumahan, kenapa dijadikan pemakaman? Ini harus dikaji ulang. Jangan sampai ada permainan di balik isu pemakaman ini,” katanya.
Selain menyoroti aspek perizinan, ia juga menegaskan pentingnya pendekatan musyawarah dan kekeluargaan dalam menyelesaikan konflik antara warga dan pihak perusahaan.
Ia menambahkan, peran pemerintah Desa dan Kecamatan sangat penting untuk menjembatani permasalahan agar tidak meluas.
“Pemerintahan desa harus bertanggung jawab, karena mereka yang menandatangani dokumen awal. Kalau masih ada warga yang menolak, artinya belum semua pihak sepakat. Itu harus dipertanggung jawabkan,” pungkasnya.






