Urgensi Bidang Fatwa MUI Provinsi, Kabupaten, dan Kecamatan
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Tangerang, (JD)- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Tangerang menggelar acara Milad MUI Ke-49 Tingkat Kabupaten Tangerang, bertempat di Gedung Serba Guna (GSG) Tigaraksa, Ibukota Kabupaten Tangerang. Kamis, 9 Agustus 2024.
Acara yang dikemas dengan model talk show menghadirkan pembicara Prof. Asrorun Niam Soleh, Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat, dengan tema “Optimalisasi Peran Fatwa MUI Dalam Merajut Keberagaman Dan Kemaslahatan Ummat”.
Pemaparan materi yang disampaikan oleh Gus Niam yang juga guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sangat menarik. Mengupas persoalan-persoalan faktual. Mulai dari fatwa MUI tentang vaksinasi, salam lintas agama, hingga yang viral dan membuat heboh umat belakangan ini, yaitu perkara penyediaan alat kontrasepsi bagi kalangan remaja dan usia sekolah.
Kesempatan yang sangat baik ini semula akan saya gunakan untuk memberikan respon atas pemaparan narasumber. Niatan ini sudah saya bisikan sebelumnya kepada panitia. Sayangnya, sesi tanya-jawab hanya diberikan kesempatan satu kali dan itu sudah digunakan oleh peserta lain. Lagian, saya suka rikuh dan tidak terbiasa kalau merespon dengan inisiatif sendiri. Kecuali bila dipersilakan dan atas seizin moderator. Saya memilih untuk menuangkannya dalam tulisan ini.
***
Assalamualaikum wa warahmatullahi wa barokatuh. Sebelum ini saya suka menyertai ucapan salam dengan salam lintas iman seperti shalom, om swastiastu, namo buddhaya, salam kebajikan, rahayu rahayu rahayu. Tapi karena baru saja Gus Niam menegaskan bahwa haram hukumnya seorang muslim bila mengucapkan itu, maka saya untuk kali ini cukup menyertainya dengan “salam sejahtera untuk kita semua”.
Saya Ocit Abdurrosyid Siddiq. Warga biasa. Bukan anggota MUI, bukan pengurus MUI. Mohon izin merespon pemaparan yang disampaikan oleh Gus Niam yang sangat bagus tadi. Ada 3 hal yang hendak saya sampaikan. Pertama saran dan atau masukan, kedua pertanyaan, dan ketiga alasan mengapa hal itu saya tanyakan.
Pertama, saran dan atau masukan. MUI ini organisasi unik, yang berbeda dengan organisasi lain pada umumnya. Lazimnya, pada organisasi lain, ada pengurusnya, ada anggotanya. Di MUI, pengurus adalah anggota, dan anggota sekaligus menjadi pengurus. MUI memang bukan organisasi masa, seperti ormas kepemudaan atau ormas keagamaan.
Kepengurusan dan atau keanggotaan MUI itu berasal dari para tokoh agama, ulama, dan para cendekiawan, baik yang berasal dari representasi organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Al-Khairiyah, dan yang lainnya. Juga karena faktor kompetensi atau kepakaran dalam penguasaan suatu bidang pengetahuan dalam agama.
Ormas keagamaan itu banyak. Termasuk di Kabupaten Tangerang ini. Macam-macam dan tak perlu saya sebutkan. Ketika seseorang sudah tergabung dengan MUI sebagai pengurus dan atau anggota, maka idealnya baju atau identitas ormas keagamaan itu tidak terlalu dinampakkan. Namun faktanya, ormas keagamaan tertentu begitu dominan mewarnai organisasi.
Saran saya, ketika seseorang sudah menjadi bagian dari pengurus dan atau anggota MUI, maka identitas asal ormas tidak perlu dinampakkan. Dengan begitu akan terlihat proporsional dan profesional. Ingat, MUI adalah tempat berhimpunnya para ulama dari beragam ormas. Bukan hanya milik ormas tertentu, yang kadang pengakuan itu muncul tersebab merasa dominan karena dari sisi jumlah menjadi mayoritas.
Buktinya, lihat saja peserta talkshow hari ini. Unsur dari ormas keagamaan tertentu diundang begitu banyak. Bukan hanya ketuanya, bahkan jajaran pengurus terasnya, organisasi sayapnya, pemudanya, pelajarnya, sarjananya, perempuannya. Sementara peserta dari ormas keagamaan lain yang diundang cukup ketuanya saja. Bahkan ada ormas keagamaan yang notabene lahir dan berbasis di tanah jawara ini namun luput untuk diundang.
Fenomena yang sama saya lihat juga terjadi dalam sebuah lembaga pemerintahan. Sebuah kementerian yang notabene adalah lembaga negara, namun karena posisi-posisi penting diduduki oleh kader ormas tertentu, saya nyaris tidak bisa membedakan apakah ini sebuah lembaga negara atau ormas keagamaan.
Buktinya, ada program yang sejatinya milik ormas namun digulirkan dengan menggerakkan jejaring birokrasi lewat para kadernya hingga level kecamatan. Ini penting saya sampaikan di awal, bukan karena merasa iri atau tak suka. Tapi ini merupakan wujud watawa sau bil haq, untuk saling mengingatkan dalam kebaikan, agar tidak kebablasan, agar tidak terlena.
Kedua, pertanyaan. Saya bukan anggota apalagi pengurus MUI. Karenanya saya awam perihal MUI terutama tentang struktur kepengurusannya. Pertanyaan saya, bila Gus Niam adalah Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat, adakah bidang atau komisi fatwa di MUI Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta Kecamatan?
Kalau ada, apa tugas mereka? Apakah hanya meneruskan dan melakukan sosialisasi fatwa MUI Pusat kepada umat dan khalayak secara berjenjang, ataukah mereka juga diberikan kewenangan untuk berijtihad dan produknya sebagai fatwa MUI sesuai dengan tingkatannya masing-masing?
Bila tugasnya hanya seperti point pertama yang saya sebutkan, maka itu cukup oleh pengurus teras, dalam hal ini Ketua atau para Wakil Ketua. Bila point kedua juga ternyata tidak ada kewenangan, lantas apa urgensinya bidang atau komisi fatwa MUI di level Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta Kecamatan?
Kalau boleh saya berpendapat, dan ini sekaligus perkara ketiga yang hendak saya sampaikan, sebaiknya bidang atau Komisi Fatwa di MUI hanya ada di pusat. Mengapa? Saya tidak bermaksud hendak mengatakan bahwa SDM dan kompetensi para ulama lokal di daerah belum semumpuni para ulama level nasional. Namun dalam rangka menjaga muruwah produk fatwa itu sendiri.
Fatwa itu kan produk hukum dalam perspektif agama yang dikeluarkan oleh ulama dan menjadi acuan umat Islam atas sebuah fenomena kehidupan. Fenomena kehidupan manusia itu beragam. Maka memungkinkan terjadinya produk hukum yang berbeda atas sebuah fenomena yang sama, karena difatwakan oleh banyak pendapat. Dalam hal ini para ulama di daerah.
Lalu, bagaimana bila ditemukan sebuah peristiwa atau fenomena kehidupan yang dihadapi oleh umat di suatu tempat dan menghajatkan kepastian hukum dalam perspektif agama? Maka pengurus MUI daerah menjadikannya sebagai bahan untuk disampaikan kepada MUI Pusat sehingga fatwa yang dikeluarkan oleh MUI Pusat yang bersumber dari fenomena lokal itu menjadi acuan bagi seluruh umat Islam di seluruh penjuru negeri.
Misalnya tentang ganja. Pada daerah yang masyarakatnya telah merasakan efek ganja begitu merusak terhadap kesehatan, mental, dan akhlak manusia, seperti di Kabupaten Tangerang, maka tanpa tedeng aling-aling dihukumi, bahwa ganja itu haram. Namun berbeda dengan daerah yang dalam kesehariannya begitu akrab dengan penggunaan ganja untuk keperluan sehari-hari. Misalnya sebagai bumbu penyedap dan ini telah mentradisi secara turun temurun.
Seperti halnya di Aceh. Kecil kemungkinannya ganja difatwakan haram oleh ulama setempat. Fenomenanya sama, ganja. Sejenis tumbuhan ciptaan Allah SWT, yang setiap ciptaanNya bisa dipastikan membawa kemanfaatan bagi manusia. Maka terlalu bodoh kita sebagai makhluk Allah SWT yang dibekali akal dan pengetahuan bila tidak bisa mengambil manfaat positif sedikit pun dari ciptaanNya. Di Tangerang ganja diharamkan oleh ulama. Namun di Aceh, ulama tidak sampai mengharamkannya.
Hal lain yang ingin saya respon. Gus Niam dalam pemaparannya tadi menyampaikan dan sekaligus mengakui bahwa selalu ada sikap pro dan kontra atas fatwa yang dikeluarkan oleh MUI. Ada yang menerima, namun tidak sedikit juga yang menolak. Tetapi kalau dilihat dari sisi jumlah, masih lebih banyak yang menerima dibanding yang menolak. Saya tertarik merespon fenomena ini.
Bila dikatakan bahwa “masih lebih banyak yang menerima dibanding yang menolak”, bukankah yang namanya kebenaran itu tidak diukur dari seberapa banyak jumlah dukungan? Nah, dengan begitu, tidak lantas bahwa ketika faktanya lebih banyak umat yang menerima dibanding yang menolak, lalu otomatis bermakna bahwa fatwa itu sepenuhnya benar.
Hal lain. Mengapa fatwa MUI kerap kali menuai penolakan atau resistensi dari sebagian kalangan walaupun dalam jumlah kecil? Jangan-jangan ketika fatwa itu dirumuskan hanya melibatkan ulama tertentu saja, yang bisa jadi sebelumnya memiliki cara pandang, perspektif, serta paradigma beragama yang sama. Homogenitas pemahaman beragama ini pastinya tidak merepresentasikan cara pandang ulama lainnya yang begitu heterogen.
Islam itu bukan hanya terbatas pada cara pandang MUI. Islam itu bukan hanya NU. Islam itu bukan hanya Muhammadiyah. Islam itu bukan hanya Mathlaul Anwar. Islam itu bukan hanya Al-Khairiyah. Islam itu bukan hanya mewujud dalam wajah ormas keagamaan lainnya. Bahkan para ilmuwan dan cendekiawan muslim lainnya yang tidak terafiliasi dengan ormas keagamaan pun, memiliki kompetensi dan kapasitas untuk turut merumuskannya sesuai dengan kepakarannya.
Bila MUI merangkul seluruh stakeholders saat merumuskan sebuah fatwa, hal ini bisa meminimalisir penolakan dan atau resistensi dari sebagian umat. Karena dengan begitu, ada banyak cara pandang dari berbagai disiplin ilmu untuk bertemu dalam sebuah perkara. Sehingga dengan begitu, fatwa yang dikeluarkan betul-betul telah mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif.
Perlu diketahui, penolakan atau resistensi atas fatwa MUI kadang bukan hanya berasal dari kalangan awam yang kurang paham perihal pengetahuan agama. Justru menariknya, kerap kali penolakan sebagai wujud cara pandang yang berbeda itu juga muncul dari kalangan sesama ulama, ilmuwan, dan cendekiawan. Atau jangan-jangan itu terjadi, karena struktur kepengurusan MUI itu kurang melibatkan stakeholders lain, atau ormas keagamaan lain, dan hanya didominasi oleh ormas keagamaan tertentu saja sebagaimana yang saya sentil di awal.
Demikian respon dari saya. Terima kasih atas perhatian. _Hadanalllah wa iyyakum ila shiroti mustaqim._ Bila Bapak dan Ibu belum familiar dengan kalimat penutup penyampaian saya ini, berbeda dengan _wallahul muwafiq ila aqwamitthoriq_ dan atau _fastabiqul khoirot_ yang begitu familiar di telinga kita, itu sekaligus sebagai bukti bahwa ormas keagamaan yang terbiasa melakukannya, belum dilibatkan dalam kepengurusan MUI. Buktinya dalam acara ini mereka tidak diundang!
_Wassalamualaikum wa rohmatullahi wa barokatuh._
***