Koalisi Koq Saling Sandera.
Oleh_Ocit Abdurrosyid Siddiq
Dulu, Pilkada untuk memilih calon Gubernur, Bupati, dan Walikota, dilakukan secara terpisah. Dalam rentang 5 tahun, pemilih dihadapkan pada dua kali pemilihan. Memilih Gubernur lalu memilih Bupati atau Walikota. Atau sebaliknya. Memilih Bupati atau Walikota, kemudian memilih Gubernur. Jarak waktunya bisa berbulan atau ganti tahun.
Di Indonesia ada 514 Kabupaten dan Kota, serta 38 Provinsi. Dengan jumlah sebanyak itu, hampir tiap bulan ada saja daerah yang menggelar Pilkada. Penyelenggaraan Pilkada yang hampir setiap saat itu dianggap tidak efisien dan efektif. Lalu digagaslah penyelenggaraan Pilkada yang digelar secara serentak.
Pada Pilkada 2024 ini, seluruh daerah baik Provinsi, Kabupaten, dan Kota, menggelar Pilkada secara serentak dan waktunya bersamaan. Untuk memilih Gubernur dan Bupati atau Walikota. Akan digelar pada hari Rabu, 27 November 2024. Dengan demikian, selanjutnya dalam rentang setiap 5 tahun, hanya ada satu kali gelaran Pilkada. Pilkada berikutnya adalah 5 tahun kemudian.
Maksud hati menyerentakkan Pilkada agar efisien dan efektif, namun ternyata menimbulkan persoalan-persoalan baru yang tidak terprediksi sebelumnya. Hal itu misalnya terjadi ketika partai-partai politik akan memutuskan untuk mengusung para bakal calon kepala daerah.
Karena kewenangan memutuskan siapa yang bakal diusung sebagai calon kepala daerah adalah pengurus pusat partai politik masing-masing, maka tak pelak ini menimbulkan persoalan baru. Misalnya, ketika menetapkan seseorang sebagai calon kepala daerah pada satu daerah, dengan mempertimbangkan dampak dan efeknya saat memutuskan calon lain di daerah lain.
Dulu ketika Pilkada digelar dan waktunya berbeda-beda, pengurus partai politik fokus hanya pada daerah di mana Pilkada itu digelar. Kini, karena serentak, partai politik dihadapkan pada situasi tarik-ulur untuk menetapkan akan mengusung siapa sebagai calon kepala daerahnya, baik dari internal partai politik maupun orang di luar partainya yang mendaftarkan diri.
Seperti kita saksikan misalnya untuk pemilihan Gubernur di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Sumatera Utara. Untuk menentukan siapa yang akan diusung sebagai calon Gubernur di provinsi-provinsi tersebut, partai-partai politik dihadapkan pada persoalan yang tidak gampang. Bahkan terkesan pelik dan rumit. Mengapa? Karena mempertimbangkan begitu banyak faktor. Termasuk faktor bargaining position, yang malah menjadi saling sandera.
Di Jawa Barat, partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM, mengusung Dedi Mulyadi, kader Partai Gerindra yang juga mantan Bupati Purwakarta. Sebelumnya beredar kabar, Ridwan Kamil, kader Partai Golkar yang juga mantan Gubernur Jawa Barat yang digadang-gadang akan maju. DM dan RK pernah menjadi seteru pada Pilgub Jabar sebelumnya. Bila mereka berdua jadi maju, déjà vu, mereka kembali berseteru.
Namun RK patuh terhadap perintah partai. Dia urung maju di Jabar. KIM memberikan mandat RK untuk maju di DKI Jakarta. Beredar kabar, istri RK yaitu, Atalia Praratya, akan dipasangkan mendampingi DM di Jabar. Atalia dianggap cocok untuk mendampingi DM. Hah? Enggak salah? RK rela kah? Hust! Bukan pendamping hidup. Tapi pasangan Cagub dan Cawagub Jabar!
Lain halnya di Banten. Airin Rachmy Diani, politisi Partai Golkar yang juga mantan Walikota Tangerang Selatan 2 periode, menjadi nama yang paling populer sebagai calon Gubernur bahkan sebelum tahapan Pilkada 2024 dimulai. Menurut hasil survey beberapa lembaga, tingkat popularitas dan elektabilitas Airin paling tinggi dibanding nama-nama lain.
Namun saat ini, saat dimana waktu pendaftaran calon Gubernur semakin dekat, nasibnya belum jelas. Apakah akan diusung oleh Partai Golkar atau kah urung maju. Berbeda dengan calon lain, Andra Soni dan Dimyati Natakusumah yang telah menjadi pasangan sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten yang telah diusung oleh 8 partai politik.
Setelah 8 partai politik bersekutu dalam satu koalisi, tinggal Partai Golkar dan PDIP yang belum menentukan sikap. Bila pun keduanya jadi berkoalisi, sudah cukup untuk mengusung pasangan calon sendiri dengan Airin sebagai calon Gubernur, dan Ade Sumardi, yang adalah Ketua DPD PDIP Provinsi Banten, sebagai calon wakilnya.
Namun karena faktor keserentakan Pilkada sebagaimana telah Penulis sampaikan di atas, penentuan itu tidak sesederhana itu. Pengurus partai politik tingkat pusat masih terlibat tarik-ulur perihal untung-rugi dan strategis-tidaknya manakala kedua partai ini berkoalisi.
Perlu diketahui, Partai Golkar itu anggota KIM bersama Partai Gerindra. Sementara PDIP merupakan rival mereka. Baik itu pada saat Pemilu 2024 maupun koalisi yang terbentuk di berbagai daerah lainnya. Andai Partai Golkar jadi berkoalisi dengan PDIP untuk Pilgub Banten, maka Banten bisa menjadi daerah pengecualian bagi KIM.
Kabar terakhir, keduanya bakal jadi diusung sebagai pasangan calon. Namun belakangan, pengurus pusat Partai Golkar menyodorkan wacana bahwa mereka akan melobi KIM agar bisa memasangkan Airin dengan Andra Soni. Entah Airin jadi wakil Andra atau sebaliknya, Andra jadi wakil Airin. Kalau begitu, bagaimana nasib Mr. Dim?
Sebelumnya beredar kabar bahwa Airin akan ditawari oleh Prabowo yang adalah Presiden RI terpilih untuk menjadi anggota kabinetnya demi memuluskan kadernya, Andra Soni melenggang jadi Banten 1. Malah konon Airin diperintah oleh partainya untuk fokus di Senayan sebagai anggota DPR RI.
Iming-imingnya, Airin akan dijadikan Ketua DPR RI. Skenarionya, dengan cara mengubah UU MD3 yang tidak lagi menempatkan partai politik peraih suara terbanyak pada Pemilu 2024 sebagai pemilik jatah kursi Ketua DPR RI sebagaimana selama ini berlaku. Berliku dan rumit kan?
Lain halnya di Sumatera Utara. Akhirnya PDIP mengusung Edy Rahmayadi sebagai calon Gubernur Sumatera Utara pada Pilkada 2024. Edy merupakan Gubernur Sumut periode 2018-2023 hasil Pilkada 2018 lalu. Waktu itu dia berpasangan dengan Musa Rajekshah.
Pasangan ini diusung oleh Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Hanura, PAN, dan PKS. Lawannya adalah pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus, yang diusung oleh PDIP dan PPP.
Kontestasi Pilkada Sumut waktu itu cukup memanas. Kedua kubu berhadapan. Hampir sama kuatnya. Edy dibackup Partai Gerindra dan Djarot dibela habis-habisan oleh PDIP. Partai Gerindra dan PDIP berada pada posisi berhadapan. Edy jadi pemenangnya.
Untuk Pilkada 2024 di Sumut, koalisi besar yang dikomandoi oleh Partai Gerindra mengusung Bobby Nasution, menantu Jokowi, Presiden RI. Koalisi besar ini melibatkan hampir seluruh partai politik di Sumut, dan hanya menyisakan PDIP. Untuk Pilkada 2024 di Sumut, DPP PDIP akhirnya mengusung Edy Rahmayadi yang notabene adalah lawan politik pada Pilkada 2018 lalu.
Berbeda dengan Anies Baswedan yang pada Pemilu 2024 maju sebagai calon Presiden dan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB. Walau masih ada harapan, hampir bisa dipastikan, per hari ini Anies tidak bisa maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2024 ini. Hah, mantan calon Presiden akan maju sebagai calon Gubernur?
Seperti telah dipaparkan di atas, partai-partai politik telah memutuskan untuk mengusung Ridwan Kamil sebagai calon Gubernur DKI Jakarta. RK didukung oleh Koalisi KIM Plus dibawah komando Partai Golkar. Plus itu maksudnya ada tambahan parpol pengusung selain parpol yang tergabung dalam KIM pada saat Pemilu 2024 yang mengusung pasangan Prabowo-Gibran.
Tinggal PDIP yang belum memutuskan siapa yang akan mereka usung. Entah dengan Partai Nasdem. Kalau PKB baru-baru ini telah merapat ke Prabowo, Ketua Umum Partai Gerindra yang telah berkoalisi dengan Partai Golkar, pengusung utama RK.
Sebetulnya, PKS sudah jauh-jauh hari telah memberikan mandat kepada Anies untuk dicalonan sebagai Gubernur DKI Jakarta. PKS memberikan mandat disertai dengan tugas bagi Anies agar yang bersangkutan mencari tambahan kursi supaya syarat batas minimal dukungan terpenuhi. Kurangnya hanya 4 kursi.
Tenggat yang diberikan disertai catatan konsekuensi logis. Lebih tepatnya resiko. Bahwa bila hingga batas waktu yang telah ditentukan Anies belum berhasil, maka PKS akan menarik kembali mandat tersebut darinya.
Dan benar saja. PKS melakukan itu. Belakangan, PKS malah “bermesra-mesraan” dengan Kaesang, Ketua Umum PSI, yang adalah anak Jokowi, yang mendukung Prabowo dalam Pilpres kemarin, yang berpasangan dengan Gibran, anak sang Presiden RI juga.
Sebetulnya masih ada harapan bagi Anies untuk tetap maju. Namun melihat fakta peta politik, asa itu hampir sirna. Walau sejatinya dalam politik mah, sebelum janur melengkung, memungkinkan terjadinya perubahan. Bahkan perubahan diluar perkiraan.
Saran saya sih, sebaiknya Anies tidak ngotot maju untuk DKI Jakarta. Dia itu kelasnya Presiden RI. Dalam Pemilu 2024, dia berhadapan dengan Prabowo dan Ganjar. Jadi, maqam Anies itu bukan daerah, bukan lokal. Anies itu kelasnya nasional, atau regional, bahkan internasional. Kalau Anies tetap nyagub, “eta kadoang lalaki gelut jeung bikang. Meunang moal sohor, eleh kalah ka wirang!”.
Indahnya tabiat politik di bumi Nusantara ya seperti ini, sekaligus sebetulnya sebagai cerminan demokrasi yang belum matang, sebagaimana yang dipertontonkan di Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Sumatera Utara. Yang kurang lebih menunjukan benarnya adagium bahwa “Dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi. Yang ada adalah kepentingan yang abadi”.
Hikmahnya, kalau suka, jangan terlalu. Kalau benci, juga jangan terlalu. Kalau membela, jangan terlalu. Kalau hewa, juga jangan terlalu. Nepi ka poho yen eta teh babaturan. Mengapa? Karena sebaik-baik urusan adalah pertengahan. Nu ngonah mah lebah nu tengah. Pungkil! Dalam bahasa Vetty Vera mah, bahwa pilihan terbaik itu yang sedang-sedang saja. Bagaimanaaaa…? O yeee…!
***
Tangerang, 11 Agustus 2024
Penulis adalah Ketua Forum Diskusi dan Kajian Liberal Banten Society (Fordiska Libas)