HUKUM – Wakil Ketua MK Saldi Isra membuka kegiatan Bimbingan Teknis Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024 (Bimtek PHPU Tahun 2024) bagi partai lokal Aceh yang terdiri dari Partai Aceh, Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS Aceh), Partai Generasi Aceh Beusaboh Tha’at dan Taqwa, Partai Darul Aceh, Partai Nangroe Aceh, serta Partai Sira (Soliditas Independen Rakyat Aceh), pada Senin (3/7/2023) di Aceh.
Dalam ceramah kuncinya Saldi mengatakan, khusus di Indonesia, sistem pemilu partai lokal hanya ada di Aceh, karena memang ada rangkaian sejarah yang penting karena partai lokal Aceh diterima serta dituangkan dalam undang-undang. “Jadi dapat dipahami bahwa dibentuknya Partai Aceh itu sendiri agar mewujudkan tujuan yang paling utama didirikan partai ini adalah agar membawa kesejahteraan yang adil, makmur bagi seluruh lapisan masyarakat Aceh,” ujarnya di hadapan sekitar 206 peserta dari enam partai lokal Aceh tersebut.
Selain itu, para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi yang kondusif sehingga pemerintah Provinsi Aceh dapat mewujudkan proses yang demokratis dan adil sebagai bagian dari negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia. Lebih lanjut, Saldi mengungkapkan pertanyaan yang sering mucul mengenai sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup, karena tidak mudah menjadi hakim dalam mengomentari tentang hal tersebut, ada yang mensyukuri tapi ada juga yang merasa pemilu secara tertutup akan lebih baik. “Putusan pengadilan sejak jaman dahulu, hakim memutus selalu ada yang setuju dan tidak setuju, selalu ada yang mensyukuri dan menyebut ini hakim tidak adil,” jelasnya.
Saldi juga menjelaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat. Meskipun demikian, masih banyak pihak yang mencari celah untuk tidak mematuhi putusan MK. Padahal putusan MK tersebut demi keadilan, agar menjaga proses demokrasi dan mencapai hasil pemilu yang diharapkan. Dibutuhkan kerja sama dan sinergitas seluruh elemen masyarakat untuk menyukseskan pemilu demi terjaganya kedaulatan rakyat.
Di akhir ceramahnya, Saldi menekankan bahwa bimtek ini merupakan program prioritas dan strategis nasional 2024. “Di MK sudah melakukan persiapan, di luar soal bimtek, kami sudah memperbaiki mekanisme soal sengketa, sudah memperbaiki kelemahan yang terjadi terdahulu, MK juga sudah belajar,” ucapnya.
Sementara, Sekjen MK Heru Setiawan menjelaskan bahwa penyelenggaraan bimtek ini dilandasi pemikiran bahwa keberhasilan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan kewenangan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu, tidak hanya ditentukan oleh kesiapan aparatur Mahkamah Konstitusi. Tetapi juga ditentukan oleh pengetahuan dan pemahaman berbagai elemen masyarakat, yang akan menjadi para pihak dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi, termasuk Partai Politik Lokal Aceh Peserta Pemilu Tahun 2024.
Selain itu, Heru juga menyampaikan dengan Partai Politik Lokal Aceh memahami prosedur beracara dalam Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024. Maka bila ada perselisihan tentang hasil Pemilu di Aceh yang diajukan, Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikannya dengan lancar, adil, bermartabat, dan konstitusional seperti yang kita semua harapkan.
Tidak Hanya Memutus Soal Angka
Pada sesi pertama, Wakil Ketua MK Saldi Isra dan Hakim Konstitusi Suhartoyo membahas mengenai Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024. Saldi membahas MK tidak memutus soal angka saja, tetapi juga pernah mengadili tahapan pemilihan yang tidak benar. Ia memberikan contoh MK pernah memutus sengketa Pilkada Sabu Raijua yang salah satu kandidatnya terbukti memiliki kewarganegaraan ganda.
“Ini sekaligus menjawab pertanyaan dari (peserta) Andika, mengenai MK tidak memutus soal angka saja, tetapi juga jika objek sengketa hasil ketetapan KPU, tapi juga dalam putusan-putusan MK di pemilu pun sengketa hasil menganulir pencalonan ternyata tidak berkutat pada sengketa hasil. Meski pun tetap hitung-hitungan hasil yang ditetapkan kKPU, bisa juga menilai tidak semata-mata tentang sengketa hasil. Pengalaman-pengalaman MK selama masuk ke wilayah yang tidak hanya hasil yang ditetapkan KPU,” tandasnya.
Lebih lanjut, dikatakan oleh Saldi, proses penyelesaian sengketa hasil pemilu legislatif adalah proses yang adil karena semua pihak diberi kesempatan sama untuk mengajukan bukti-bukti. Ia menegaskan para pihak harus siap dengan bukti-bukti. Selain itu, Saldi mengingatkan kepada para peserta jika mendalilkan adanya kehilangan suara, maka harus menyertainya dengan alat bukti yang lengkap. Berkaitan dengan hal ini, diperlukan tim yang mengumpulkan alat bukti.
Selain itu, tentang persoalan pertahanan MK dalam tekanan politik. Saldi memberi contoh mengenai putusan yang diputus MK karena tidak sejalan dengan pemerintah, yakni UU Ciptaker yang dikabulkan MK. “Jadi ketika misal Yang Mulia Pak Suhartoyo ini jadi hakim yang diajukan oleh MA, MA bukan bos dia, tapi harus jadi negarawan yang independen, harus bisa mengatasi kepentingan kelompok-kelompok dan MK terus berupaya untuk menjaga indepensi tersebut,” tutupnya.
Sementara, Suhartoyo mengatakan MK tidak menutup jika nanti ada kemungkinan permasalahan internal partai yang tidak dapat diselesaikan yang berujung hingga ke MK. Bahwa tidak mudah bagi perseorangan untuk mengajukan permohonan hal demikian ke MK, karena ia harus mendapat persetujuan dari ketua umum atau sekjen atau nama lain setingkat dengan jabatan tersebut. Oleh karenanya, sebagai Pemohon perseorangan anggota partai politik tidak dapat berdiri sendiri. Lain halnya, jika perkara diajukan oleh partai politik, yang mengatasnamakan ketua umum dan sekretaris jenderal partai yang bersangkutan. Pihak-pihak ini akan dengan mudah mengajukan diri sebagai Pemohon.
Berbicara pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa pemilu utamanya legislatif, terdiri atas Pemohon yakni dapat berupa partai politik dan perseorangan anggota parpol. Berikutnya, terdapat Termohon yakni Komisi Pemilihan Umum. Adapun objek permohonan perkara berupa Keputusan KPU tentang penetapan hasil perolehan suara secara nasional. Sementara Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bukan pihak yang berhadapan langsung dengan Pemohon dan Termohon.
Berikutnya, sambung Suhartoyo, ada pula Pihak Terkait, yakni pihak yang oleh Keputusan KPU diuntungkan, namun dikarenakan ada sengketa yang maju ke MK sehingga ia pun dapat memberikan keterangan untuk mendukung haknya. Dengan demikian, simpul Suhartoyo, para peserta bimtek yang hadir pada kesempatan ini baik sebagai partai politik atau calon legislatif, dapat saja nanti berada pada posisi sebagai Pemohon dan Pihak Terkait, yang bergantung pada posisi putusan KPU.
Kemudian mengenai pertanyaan yang dilontarkan dari peserta Yasin, tentang koordinasi antara MK dan KPU, apakah berjalan lancar. Suhartoyo menjawab bahwa antara MK, KPU dan Bawaslu tetap berkoordinasi secara baik. “Jangan dikira MK tidak cawe-cawe sama KPU, MK tidak diam-diam membiarkan, MK telah menginisiasi bahwa baru minggu lalu rapat koordinasi menjelaskan soal perlakuan mantan terpidana yang harus menunggu masa 5 tahun karena antara Bawaslu dan KPU punya pandangan yang berbeda,” jelasnya.
Untuk diketahui, bimtek tersebut diadakan selama empat hari, sejak Senin – Kamis (3 – 6/7/2023) di Aceh. Kegiatan tersebut diisi dengan berbagai materi dari beberapa narasumber yang terdiri dari Panitera Muda, Panitera Pengganti, Asisten Ahli Hakim Konstitusi, dan lainnya. Materi yang diberikan kepada para peserta, di antaranya Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024; Mahkamah Konstitusi dan Dinamika Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan; Mekanisme, Tahapan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Tahun 2024; Teknik Penyusunan Permohonan Pemohon dan Keterangan Pihak Terkait dalam PHPU Tahun 2024; dan lainnya. (*)